Jumat, 24 September 2010

Bab Wadah (Hadits 14-15) : Larangan menggunakan wadah yang terbuat dari emas atau perak

Hadits 14

عن أبي حذيفة بن يمان –رضي الله عنه- قال : قال رسول الله –صلى الله عليه و سلم- ((لا تشربوا في آنية الذهب و الفضة, و لا تأكلوا في صفاحفها, فإنها لهم في الدنيا, و لكم في الأخرة)) متفق عليه
Dari Abu Hudzaifah bin Yaman – radiyallahu ‘anhu- dia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Janganlah kalian minum di wadah yang terbuat dari emas dan perak, dan janganlah kalian makan dari piring keduanya, karena wadah-wadah itu untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia, dan untuk kalian (orang-orang Islam) di akhirat” (Muttafaqun ‘alaihi)

Faedah Hadits:


  1. Dilarang makan dan minum di wadah dan piring yang terbuat dari emas dan perak

  2. Larangan berkonsekuensi keharaman .

  3. Hukum ini berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan.

  4. Larangan menggunakan emas dan perak untuk wadah makanan dan minuman tersebut mencakup penggunaan untuk manfaat apapun, kecuali yang dibolehkan oleh syari’at.

  5. Jika menggunakan keduanya saja sudah haram padahal memiliki kemungkinan adanya kebutuhan, maka menjadikan wadah emas dan perak itu sebagai hiasan tentu lebih haram lagi.

  6. Hadits ini tidak menunjukkan bolehnya orang-orang kafir menggunakan wadah emas dan perak di dunia, tetapi maksud dari hadits ini adalah untuk menjelaskan keadaan dan realitas yang ada pada mereka. Adapun kaum muslimin yang bertakwa kepada Allah dalam menjauhinya, maka mereka menikmati penggunaannya di akhirat, sebagai balasan bagi mereka karena telah meninggalkannya di dunia dalam rangka mendapatkan pahala dari Allah ta’ala.

  7. Larangan dan keharaman menggunakan wadah emas dan pereak adalah bersifat umum, baik itu emas murni atau perak murni atau disepuh dan dilapisi dengannya, atau yang semisal dengannya yang merupakan jenis hiasan, larangan dan keharamannya bersifat umum. Imam An Nawawi berkata, “Telah terjadi ijma’ atas haramnya makan dan minum di wadah emas dan perak, dan seluruh macam penggunaan yang bermakna makan dan minum, berdasarkan ijma’ para ulama”

  8. Sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “sesungguhnya untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia” maknanya adalah barangsiapa yang menggunakannya maka dia telah menyerupai mereka yang menghalalkannya, dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia adalah termasuk golongan mereka. Dan sebesar-besarnnya penyerupaan (tasyabbuh) adalah penyerupaan dalam hal keyakinan, penghalalan dan pengharaman.

  9. Asal dari perintah menyelisihi kaum musyrikin adalah wajib, selama tidak ada dalil yang membolehkan menyerupai mereka. Misalnya, hadits di shahihain dari Ibnu Umar bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Selisihi-lah orang-orang musyrik, biarkan jenggot tumbuh”. Kita tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkannya dari hukum wajib, maka memelihara jenggot hukumnya tetap wajib, dan mencukurnya haram, karena ada penyerupaan dengan orang-orang musyrik. Adapun jenis kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih dari hadits Syaddad bin Aus dia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Selisihi-lah orang-orang Yahudi, mereka sembahyang tidak menggunakan sandal dan khuf”. Namun ada riwayat yang menyelisihinya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad Darimi dengan sanad sesuai syarat Muslim dari hadits Sa’id bin Khudri, dia berkata, “ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sholat bersama para sabahat beliau, beliau melepaskan kedua sandal beliau dan meletakkannya di kiri beliau”, maka ini menjadi dalil bahwa menyelisihi orang Yahudi pada hadits yang telah disebutkan di atas tidaklah wajib.



Hadits 15

عن أم سلمة –رضي الله عنها-, قالت: قال رسول الله –صلى الله عليه و سلم- : ((الذي يشرب إناء الفضة إنما يجرجر في بطنه نار جهنم)) متفق عليه

Dari Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- dia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Orang yang minum dari wadah perak sesungguhnya di perutnya ada didihan oleh api jahannam”. (Muttafaqun ‘alalihi)

Faedah Hadits:


  1. Haramnya minum di wadah yang terbuat dari perak, dan emas lebih haram lagi. Nash-nash syar’i banyak menyebutkan sesuatu dan tidak menyebutkan yang serupa dengannya atau yang melebihinya, karena menyebutkan sebagiannya itu sudah cukup. Seperti firman Allah –ta’ala-, “Dan Dia jadikaan bagumu pakaian yang memeliharamu dari panas” (QS An Nahl : 81), yaitu dan dari dingin, karena dingin lebih utama.

  2. Ancaman keras bagi peminum di wadah perak dan semisalnya emas, azabnya sangat keras, dengan mengerjakan maksiat ini dia akan didengarkan suara di perutnya karena azab jahannam.

  3. Hadits ini menetapkan adanya balasan di akhirat, dan menetapkan adanya azam neraka di hari kiamat, perkara yang wajib diyakini ini telah sangat dimaklumi.

  4. Balasan itu sesuai dengan amalan, orang yang mengikuti hawa nafsunya dan minum dengan wadah perak maka ia akan meneguk api jahannam bersama wadah-wadah tersebut dari perutnya yang telah menikmati maksiat di dunia, demikianlah balasan sesuai dengan jenis amalan.

Perbedaan pendapat para ulama:


Para ulama berbeda pendapat tentang alasan (‘illah) yang menyebabkan diharamkannya menggunakan emas dan perak.
Sebagian mereka mengatakan alasannya adalah kesombongan dan menyedihkan hati-hati orang-orang miskin.
Sebagain yang lain mengatakan alasannya adalah dalam rangka membina akhlak, dan Islam menjaga seorang muslim sikap bermewah-mewahan yang merusak.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa alasannya adalah emas dan perak ini sebagai mata uang dan merupakan perhitungan standar internasional untuk uang yang dapat menghasilkan berbagai kepentingan dan kebutuhan lainnya. Mengambil dan menggunakan emas dan perak sebagai wadah berarti merusak gerakan perdagangan dan mengabaikan kebutuhan dan hal-hal darurat tanpa ada kepentingan yang besar.
Ibnul Qoyyim berkata, “Illat (alasan) dalam menggunakan keduanya adalah apa yang dirasakan oleh hati bertentangan dengan nilai-nilai ibadah”. Oleh karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan bahwa wadah emas dan perak tersebut milik orang-orang kafir di dunia karena mereka tidak memiliki nilai ibadah yang menyampaikannya kepada akhirat. Dan Allah Maha Mengetahui dengan syariat-Nya. Dia memiliki rahasia dan hikmah di dalam syariat-Nya, tidak tertutup kemungkinan bahwa seluruh illat di atas sesuai dengan yang dimaksud.


Link-link sebelumnya:


Bab Air:



by : Kajian Bulughul Marom

View Original Article

Blogged with the Flock Browser

Bab Air (Hadits 6-7) : Bolehkah seorang laki-laki mandi atau berwudhu' dengan air bekas bersuci wanita?

Hadits 6:


عَنْ رَجُلٍ صَحِبَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ
نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ , أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ , وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا
Dari seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita (istri) mandi dengan air bekas mandi laki-laki (suami), atau laki-laki (suami) mandi dengan air bekas mandi wanita (istri), dan hendaknya mereka berdua menciduk air bersama-sama.”
Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa-i, dan sanad-sanadnya shahih.

Derajat hadits:


Hadits ini shahih.

Asy Syaukani berkata yang ringkasnya, “Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhoifan hadits ini”. Ini adalah sisi celaan.
Adapun yang men-tsiqoh-annya.
At- Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”.
Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “sungguh An Nawawi telah asing ketika menyatakan ijma’ atas kedhoifannya, padahal perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya).
Dan celaan Al Baihaqi atas mursalnya hadits ini tertolak, karena mubham (ketidakjelasan) sahabat tidak mengapa. Celaan Ibnu Hazm atas dhoifnya Hamid Al Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid bin Abdullah Al Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al Himyari, dan perawi ini tsiqoh (terpercaya) lagi faqih.
Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih.
Ibnu Abdil Hadiy berkata di Al Muharrar, “Al Humaidi menshahihkannya”, dan Al Baihaqi berkata, “perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya)”.


Faedah Hadits:


  1. Larangan bagi laki-laki mandi dengan air bekas bersuci wanita.
  2. Larangan bagi wanita mandi dengan air bekas bersuci laki-laki.
    Yang disyariatkan adalah mandi bersama dan mengambil air bersama.
    Ada hadits di Shahih Bukhori dari Ibnu Umar bahwa dahulu laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka wudhu’ bersama-sama, di dalam riwayat Hisyam bin Ammar dari Malik berkata, “di dalam satu wadah”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur lain.
  3. Kemutlakan ini dimuqoyyad (dibatasi) bahwa maksudnya bukan laki-laki yang asing bagi wanita, akan tetapi maksud dari laki-laki dan wanita tersebut adalah suami istri, atau orang yang dihalalkan melihat anggota-anggota wudhu’.



Hadits 7:



عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا
أخرجه مسلم
وَلِأَصْحَابِ " اَلسُّنَنِ "اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي جَفْنَةٍ , فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا , فَقَالَتْ لَهُ : إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا , فَقَالَ : "إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُجْنِبُ"

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah radiyallahu ‘anha.
Dikeluarkan oleh Muslim.
Oleh ashabus sunan, “sebagian istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Maimunah) mandi di dalam bak. Lalu beliau datang untuk mandi dengan airnya. Lalu Maimunah berkata, “Saya sedang junub”, lalu beliau bersabda, “sesungguhnya air tidak tercemar oleh junub”.

Derajat Hadits:


Hadits ini shahih.

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim telah tercacati dengan pertentangan di riwayat Amr bin Dinar. Akan tetapi telah ada hadits di Shahihain secara terpelihar tanpa pertentangan, dengan lafadz, “bahwa nabi –shallalahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah mandi berdua di dalam satu bak.” Lafadz ini jika tidak bertentangan dengan riwayat Muslim, maka yang bertentangan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabussunnan, dan inilah yang benar.
Ibnu Abdil Haadi berkata di Al Muharror, “At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Adz Dzahabi menshahihkannya.
Ibnu Hajar berkata di At Talkhis, “beberapa ulama mencacati hadits ini dengan Simak bin Harb riwayat dari Ikrimah, karena dia menerima talqin, akan tetapi diriwayatkan dari Syu’bah. Dan Syu’bah tidaklah mengambil dari Syaikhnya melainkan shahih haditsnya.


Faedah Hadits:


  1. Bolehnya seorang laki-laki mandi dengan air bekas bersucinya wanita walaupun wanita tersebut junub, dan kebalikannya lebih diperbolehkan bagi wanita untuk mandi dengan air bekas bersucinya laki-laki.

  2. Mandinya orang yang junub atau wudhu’nya orang yang berwudhu dari wadah tidak memberikan dampak terhadap kesucian air, maka air tetap dalam kesuciannya.

  3. Al Wazir dan An Nawawi menceritakan adanya ijma’ atas bolehnya laki-laki berwudhu’ dengan air bekas bersucinya wanita walaupun mereka tidak wudhu' bersama. Kecuali ada salah satu riwayat dari Ahmad, yaitu riwayat yang masyhur bagi pengikutnya. Dan riwayat lain, beliau berkata di Al Inshof, dan dari Imam Ahmad, “hilangnya hadats laki-laki tersebut" dan inilah pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Uqoil dan Abu Khottob dan Al Majid.
    Dikatakan di Syarhul Kabir, “inilah madzhab imam yang tiga”.
    Adapun wudhu’nya wanita dengan air bekas bersucinya laki-laki maka boleh tanpa ada perbedaan pendapat.


Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah


Tambahan:


Jumhur ulama dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak mengapa laki-laki (suami) berwudhu' atau mandi dengan air bekas wudhu'nya wanita (istri), berdasarkan hadits Maimunah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadits 7 di atas), dan hadits ini lebih shahih dibandingkan hadits 6. Kebanyakan ulama mendho'ifkan hadits 6, (seperti Imam Bukhori, An Nawawi, Ibnul Qoyyim, dll.) (http://hawaa.elaana.com/show-12290.html)

Namun, ada juga ulama yang menshahihkan hadits 6 tersebut seperti Syaikh Al Albani di kitab Shahih Abu Dawud, dishahihkan juga oleh Syaikh Al Bassam (seperti keterangan di atas). Karena hadits-hadits tersebut shahih, maka sebagian ulama berusaha menjama' (mengkombinasikan) antar hadiits-hadits tersebut, cara mengkombinasikannya yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak berkonsekuensi haram, akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meniggalkannnya, tetapi jika dia melakukannya maka tidak mengapa.
Berkata Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah, "larangan tersebut dimaknai untuk kebersihan sehingga terjama'lah dalil-dalil yang ada, ketika air lain ada maka sebaiknya mandi dengannya, tidak dengan air bekas bersuci wanita. Adapun jika butuh untuk menggunakan air bekas bersuci wanita, maka hilanglah hukum makruhnya, karena mandi itu wajib dan wudhu juga wajib, tidak ada kemakruhan ketika kondisinya butuh untuk menggunakan air tersebut. Jika Anda menemukan air yang banyak, maka lebih baik si laki-laki tidak mandi dengan air bekas wanita, dan wanita tidak mandi dengan air bekas laki-laki." Demikian juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulllah.
Bisa dibaca lebih lanjut di : http://islamqa.com/ar/ref/129160 dan http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?p=1083298


Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah lebih utama bagi seorang laki-laki (suami) tidak mandi atau berwudhu' dengan air bekas bersuci wanita (istri), tetapi jika dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa menggunakannya. Wallahu a'lam.

(selesai)


Pertanyaan:
  1. Bagaimana derajat hadits 6 di atas? Apakah ada perbedaan pendapat ulama tentang derajat hadits 6 tersebut? Jelaskan!
  2. Jika hadits 6 tersebut dho'if, bagaimana hukumnya seorang laki-laki mandi atau berwudhu' dengan air bekas bersuci wanita?
  3. Jika hadits 6 tersebut shahih, bagaimana cara mengkombinasikannya dengan hadits 7 (yang menunjukkan bolehnya laki-laki mandi dengan air bekas mandinya wanita)?
  4. Apakah air bekas mandi wanita menjadi ternajisi?



Link-link sebelumnya:





by : Kajian Bulughul Marom

View Original Article

Blogged with the Flock Browser